Breaking News

,

Soekarno: Jangan Jadi Budak Bangsa-Bangsa

 Peter A. Rohi
Oleh : Peter A. Rohi
Setelah Soekarno mengusir kapitalis Amerika yang ingin menguasai ekonomi negeri ini, Soeharto malah mempersilakan mereka masuk dan memberikan semua yang mereka minta. Itulah sebabnya kita terlebih dulu membuat UU no. 1 Tahun 1967 yaitu UU Penanaman Modal Asing, ketimbang menghasilkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri. Soekarno memang bilang: Go To Hell With Your Aids. Soekarno tidak memberikan secuil apa pun, bahkan tidak sebatang pohon pun tumbang bagi kapitalis asing. Biarkan kekayaan itu tertanam di perut Ibu Pertiwi sampai anak-anaknya sendiri mampu menggalinya. Untuk mewujudkan mimpinya, ia mengirimkan 5.000 pemuda belajar ke luar negeri.

Bagi Kapitalisme Barat jangan sampai mimpi Soekarno itu menjadi kenyataan, Kalau itu yang terjadi kapitalis barat niscaya tidak kebagian apa-apa. Maka sebelum itu terjadi, Soekarno harus jatuh. Kejatuhan Soekarno itu disambut girang Presiden AS Richard M. Nixon: �upeti besar dari Asia.�
Buru-buru manusia terkaya dunia ketika itu CEO Korperasi Multi Nasional Rockefeller mendikte persyaratan investasi besar masuk ke Indonesia, yang kemudian dijabarkan sebagai Undang-undang no.1 Tahun 1967, yaitu Undang- undang Penanaman Modal Asing.
Soekarno benar- benar sudah dicopot dari kekuasaannya. Semua negara kapitalis berpesta pora. Soeharto dianggap penyelamat, karena kekayaan alam Indonesia tidak jatuh ke pundi-pundi Blok Timur.

Segera The Time Life Corporation mensponsori pertemuan di Jenewa, Swiss. Selain mendikte persyatratan untuk investasi yang menyangkut infrastruktur dan administrasi, kekayaan Indonesiadikapling-kapling. Papua dibagi dua. Freeportmemperoleh dua gunung yang kaya mineral, emas dan tembaga, sisanya untuk sebuah konsorsium Eropa menguras nikel. Alcao memonopoli bauksit. Sementara hutan Sumatera, Kalimantan, dan Papua dikapling untuk Jepang, Amerika, dan Prancis.
Semua kendali ekonomi dan keuangan berada di bawah kendali Inter Government Group on Indonesia (IGGI) yang dipegang Belanda, dengan dana yang dikucurkan oleh International Moneter Found (IMF).

Konyolnya, tim yang dikirim Soeharto menemui sang majikan barui, IGGI, yang terdiri dari Adam Malik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Soemitro Djojohadikoesoemo cuma bisa ho-oh ho-oh saja menghadapi para pemilik perusahaan raksasa selama pertemuan tiga hari di Swiss yang membahas habis nasib bangsa ini. Ada General Motors, Imperial Chemical Industrie, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Coorporation, dan United States Steel.

Peristiwa ini menandai kembalinya kapitalisme menjajah negeri ini sebagai titik balik dari merdeka dan berdaulat menjadi New Liberalism, di mana hidup budak besar dan budak kecil. Budak besar yang menyerahkan semua kekayaan alam negeri ini dan memperlakukan semena-mena budak kecil untuk menunjukkan kesetiaan mereka pada sang majikan. Tanah rakyat tak segan diambil paksa, kalau ada kepentingan kapitalis di situ. Rakyat hanya diberi janji.
Hak politik bangsa ini makin digerogoti dengan disusupinya kepentingan kaum kapitalis dalam semua peraturan-peraturan negara dan daerah, justru makin menjadi pada era reformasi setelah UUD 1945 diamandemen.

Janji kecipratan tidak terbukti, sebaliknya direkrutlah para penganggur non skill untuk menjadi TKI / TKW di laur negeri, sementara yang terpelajar lebih suka menjadi TKI/ TKW di dalam negeri, yaitu bekerja pada perusahaan asing yang berinvestasi di dalam negeri. Dalam prakteknya baik di dalam negeri, mau pun di luar negeri sama-sama berstatus budak karena mereka tidak memiliki hak apa pun juga.

Kebangkitan Nasional
Menyambut Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2015 ini, walau Bung Karno sudah tiada, tapi jauh-jauh hari dia sudah mengingatkan bangsa ini agar tidak bertindak sebagai apa yang dikatakan Professor P. J. Veth: Dari zaman purbakala sampai sekarang, dari pada ribuan tahun , Indonesia senantiasa menjadi negri jajahan: mula-mula jajahan Hindu, kemudian jajahan Belanda. Tapi anak pribumi sendiri tidak pernah kuasa. (Di Bawah Bendera Revolusi, hal. 257)   

Bung Karno lalu mengutip sang pencerah Asia, Swami Vivekananda: Berhentilah menangis. Sekarang saatnya kita bangkit dari tidur yang panjang, merebut kembali hak-hak kita.

Dan begitu pula hari ini, menjelang bulan Soekarno ini kita berharap akan datang suatu kebangkitan baru, kesadaran akan harga diri kita sebagai bangsa untuk merebut kembali hak kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat agar kita tidak lagi menjadi budak bangsa-bangsa! (Penulis adalah Direktur Soekarno Institute, Surabaya)

Tidak ada komentar