Penghapusan PBB Masuk Tahap Kajian Lebih Lanjut
Menteri ATR/BPN Ferry Mursydan Baldan |
Dalam rapat kabinet terbatas yang dihadiri Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri ATR/Kepala BPN, Menteri Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), presiden rekomendasikan agar Kementerian ATR/BPN melanjutkan kajian penghapusan PBB dan NJOP tersebut.
Menteri ATR/BPN Ferry Mursydan Baldan, pada Senin (6/4/2015) di kantornya Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan mengungkapkan, dalam pembahasan rencana penghapusan PBB dan NJOP, pada Rabu (1/4/2015) itu, pemerintah merekomendasikan agar Kementerian ATR/BPN melanjutkan kajian.
Lebih lanjut Ferry menyatakan, bahwa peringanan PBB tersebut berlaku pada subjek pajak atau penghuni yang tidak mampu membayar bukan kepada objek pajaknya. "Jadi sekali pun seseorang tinggal di kawasan premium, itu diasumsikan tanah atas ketidakmampuan bayar pajak, pemerintah harus meringankan," jelasnya.
Menurutnya, untuk kriteria pada peringanan PBB, pihaknya akan bekerjasama dengan kementerian sosial karena kementerian itu memiliki data Kartu keluarga Sejatera. "Jadi berdasarkan data, penghasilannya berapa kan kelihatan. Bisa juga lewat kartu sejahtera," tandasnya.
Ia menyatakan, penghapusan PBB yang rencananya diberlakukan pada 2016, tidak akan mengurangi pendapatan pajak daerah, karena berdasarkan total perhitungan sementara yang dilakukan pihaknya, akumulasi PBB secara nasional hanya 3,5 persen dari seluruh sumber pendapatan negara dari sektor pajak, di luar PPN dan PPh. Dari 3,5 persen pendapatan PBB, pengurangan atau penghapusan PBB hanya mengurangi 1 persen.
Berdasarkan penghitungan itu, Ferry menyatakan, akan segera berkomunikasi dengan pemerintah daerah agar mereka tidak merasa kebijakan ini akan mengurangi potensi pendapatan.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Keuangan, selain PBB, pendapatan negara dari pajak, adalah PPh, PPN dan PPnBM. Realisasi pendapatan dari pajak tersebut adalah, PPN Rp 404,7 triliun, PBB terkumpul sebesar Rp 23,4 triliun, dan pajak lainnya senilai Rp Rp 6,3 triliun. Dengan demikian, jika kebijakan baru ini diberlakukan, maka pengurangan pendapatan hanya sebesar Rp 23,4 miliar dari total pungutan PBB yang terkumpul.
Kebijakan ini dimulai dengan konsolidasi, dan koordinasi Kementerian ATR/BPN bersama beberapa kementerian lain selama April-Mei 2015. Kementerian yang terkait di dalamnya adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanan Pembangunan Nasional atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Hukum dan HAM, Menteri Sekretaris Negara, dan Sekretaris Kabinet.
Sementara itu, pada periode Juni-Juli 2015, Ferry akan berkoordinasi dengan gubernur, bupati, walikota, serta DPRD setempat.
Bisnis Properti Bergairah
Secara terpisah Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo, pada Jumat (3/4/2015) di Jakarta menyatakan, penghapusan NJOP dan PBB akan menimbulkan multiplier effects, dengan kebijakan itu, diperkirakan bisnis properti di daerah diprediksi akan semakin bergairah.
Menurutnya, dengan pembebasan PBB non-komersial, dunia bisnis properti di daerah masing masing akan semakin bergairah. �Akan terbuka daerah baru dengan penghuni baru. Sehingga, dapat dipastikan timbul permintaan dan penawaran terhadap barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis," ujarnya pada Jumat (3/4/2015) di Jakarta.
Sebab itu, pihaknya sangat mengapresiasi kebijakan pemerintah yang akan menghapus PBB dan NJOP, karena akan sangat meringankan pengembang dan masyarakat. "Bagi masyarakat, ketiadaan BPHTB akan mempermudah mereka untuk mendapatkan akses tempat tinggal. Apalagi mereka yang tergolong ke dalam MBR," katanya. (her)
Tidak ada komentar